Menarik Dikunjungi

Silahkan Klik untuk selengkapnya

Cerita Sunset

Silahkan klik untuk selengkapnya

Menatap Jauh

Silahkan klik untuk selengkapnya

Kita dan Mereka

Silahkan klik untuk selengkapnya

Berbagi Foto

Silahkan Klik untuk selengkapnya

konci bu aji

Konci, dengan aksen bugis dan suara yang halus, ibu-ibu sambil melebarkan bibir dan sumringah menatap lawannya dengan ekspresi kemenangan. Dia baru saja menamparkan lembaran domi ke lantai, konci atau kunci biasa juga disebut kandang dan menutup putaran domi lalu menghitung mata domi dengan jumlah terendahlah yang menang. Tentu ibu aji yang mengunci tadi sebagai pemenangnya kali ini, dia tersenyum terus dengan cipo’-cipo’ di kepala, cipo’ itu adalah sebuah simbol  bagi perempuan yang telah menunaikan haji dan akan disapa dengan panggilan pung aji, ibu aji atau melekatkan aji di depan namanya.

Saya duduk di ruangan depan, memandangi ibu-ibu di ruangan tengah dengan cahaya yang seadanya, saya mengira mereka sedang sibuk memotong bawang, atau membuat kue dan makanan untuk persiapan menjamu para tamu besoknya. Ternyata keliru, mereka sibuk bermain domino.

Suasana malam yang meriah, ruangan tengah sebuah rumah panggung dipenuhi oleh ibu-ibu yang duduk berkelompok 4 orang, lembaran domi berwarna kuning masing-masing di tangan, menyusun strategi dan mengecoh lawan mengharap kemenangan. Dari puluhan pemain hanya empat oranglah nantinya yang akan bertahan sebagai pemenang, mereka harus lincah memainkan kartu agar panci atau daster bisa menjadi milik mereka dan dituliskan namanya sebagai pemenang.

Jika di daerah lain, saat ada pesta biasanya hanya laki-laki lah yang mengikuti perlombaan main domino. Tapi di daerah ini berbeda, di perbatasan negara, mereka tidak mau kalah mengambil posisi dan menamparkan lembaran demi lembaran domi, mulai dari ibu-ibu hingga gadis-gadis yang tangannya masih halus, tidak kalah lincah memainkan kartu, permainan ini lebih menarik bagi mereka, dibandingkan keluar ke tempat terbuka dan mangkal atau sekedar lalu lalang dikeramaian untuk memancing atau menarik perhatian lawan jenis mereka. 

Katanya, setiap ada pesta atau acara keramaian lainnya, selalu ada pertandingan domino antar ibu-ibu seperti ini. Saya berfikir mungkin ibu-ibu di daerah ini sudah mengenal kesetaraan gender ala barat sehingga mereka juga ikut ambil posisi dan tidak mau kalah dengan bapak-bapak, ataukah ini sekedar ajang ramai-ramai dan bersuka cita di tengah aktivitas keseharian yang melelahkan. Entahlah. Yang jelas ini adalah sebuah acara pesta yang orang harusnya bersuka cita dan berbahagia, jika sekedar menghibur diri dan melepaskan penat, duduk bersama dan tertawa bermain domino tidak ada salahnya, terlepas dari segala aspek pengatur seperti agama dan pandangan sosial. ini cara mereka yang jauh dari keramaian dan kemajuan modernisasi untuk menghibur diri.

sebatik, 24 Jan 2014
acc..

catatan dari ujung pulau


Ini tidak melalui sebuah penelitian ilmiah yang lengkap dengan segala prasyarat sehingga dikatakan karya ilmiah. ini hanyalah sebuah catatan dari perjalanan mengunjungi tempat yang pertama kali saya datangi. Mungkin sebagian orang menganggap hal biasa, tapi menjadi tidak biasa oleh saya karena ini pertama kalinya.
Sei-nyamuk atau biasa disebut sungai nyamuk, kecamatan sebatik kalimantan utara, berbatasan langsung dengan malaysia. Ketika dulu saya berkunjung ke pulau lain, jawa misalnya, saya memang merasa berada di daerah lain, karena di lingkungan saya berada dipenuhi dengan percakapan bahasa lokal, atau ditandai oleh ornamen lokal sebagai simbol daerah tersebut. Tapi ketika sampai di sini (sebatik) setelah melalui perjalanan ribuan kilometer menggunakan kendaraan darat, udara dan laut, saya merasa tidak pergi kemana-mana, disambut dengan bahasa melayu sebagai bahasa pemersatu mereka, bukan bahasa indonesia yang sesuai dengan eyd, dan bahasa sehari-hari mereka ternyata bahasa bugis.
Saat malam, sedang ada pesta, duduk melingkar dengan beberapa warga, terlihat dari guratan wajah, mereka ini pekerja keras, ternyata betul, mereka perantau dari sulsel, senyum mereka disela gumpalan asap, tata bahasa dan tingkah, masih menggambarkan nuansa tanah asal mereka. Katanya, disini 80% penduduk dari bugis, sinjai, bone, enrekang, wajo, sidrap, pinrang, bulukumba, sebenarnya bukan hanya bugis karena ada juga makassar, tapi secara umum mereka menyebut bugis,  sisanya perantau dari jawa dan orang tidung sendiri. Terlihat di gambar yang diabadikan dari salah satu mesjid besar di kota sebatik, nama mesjid ditulis dengan huruf lontara..
Saya langsung teringat dengan daerah luwu-sulsel yang beberapa wilayah didiami oleh orang jawa dan bali, mereka hidup dan berkembang di sana, sama atau tidak dengan kasus ini, saya kurang paham. Jika di luwu ada beberapa kampung atau desa yang diberi nama jawa/bali, maka di sini pun demikian, tempat yang lagi ada pesta ini disebut kampung sinjai, desa lapri kec.sebatik. Orang bugis telah menguasi beberapa wilayah disebatik ini, penduduk lokal tergeser kepolosok gunung. Dan katanya orang terkaya di daerah ini adalah orang bone, jika ada bangunan-bangunan besar, tanah yang luas itu dimiliki oleh mereka yang berlabel bugis. Secara singkat mereka menjelaskan tentang penamaan dan pemilikan tanah di ujung borneo ini, awalnya mereka merantau ke malaysia sebagai TKI ilegal, karena ilegal sehingga pekerjaan mereka disana terbatas dan dibayangi ketakutan akan ditangkap, mereka memilih pergi dan singgah di daerah ini yang dekat dengan malaysia, cukup 15 menit menggunakan speedboot. Tanah ini masih kosong, sehingga mereka membuka lahan dan bercocok tanam, begitulah seterusnya hingga sekarang menjadi ramai.
Bagaimana dengan penduduk lokal? Katanya" penduduk lokal tidak pernah pusing dengan kehidupan, malah mereka sendiri yang menjual tanah mereka kepada para pendatang, kehidupan penduduk lokal sangat sederhana, rumah mereka seadanya, yang jelas bisa berteduh, jarang penduduk lokal yang berminat kerja keras mengumpulkan uang, kata mereka" kami  lahir disini, besar disini dan akan mati disini, apa yang akan kami kejar? Jika kehidupan kami hanya berputar disini, yang jelas masih bisa makan untuk melangsungkan hidup, berbeda dengan kalian para pendatang, kalian harus kerja keras mengumpulkan uang, karena kalian perantau yang punya cita-cita untuk kembali ke kampung masing-masing karena disana kehidupan kalian.
Lalu bagaimana dengan kehidupan para pendatang, khususnya orang-orang bugis, apakah akur-akur saja? "Kalau disini kehidupan orang-orang sangat baik, kecuali di daerah timur sana, wilayah tarakan yang juga didominasi oleh bugis, disana pernah terjadi konflik kurang lebih 3 hari antara orang bugis, terkhusus orang pinrang, letta' dengan orang tidung.."kata orang disini, sebenarnya orang tidung mulai kehilangan kesabaran, karena orang bugis disana (tarakan) selalu mengganggu orang tidung (mengganggu tanda kutip)..banyak korban yang berjatuhan, dan paling banyak itu bugis, katanya.
Apa pekerjaan orang-orang bugis disini? "Mereka bertani, berdagang atau jual-jualan, membuat tambak udang, tambak ikan bandeng dan menjadi perampok. Banyak orang bugis di sini yang jadi perampok, mengambil hasil tambak orang, dan bisa dikatakan bajak laut, karena mereka merampok orang-orang di atas kapal yang akan menyeberang pulau dengan menggunakan speedboot, yang dirampok pun sesama mereka orang bugis. Jika mereka ketahuan dan dikejar oleh polisi, cukup melewati perbatasan negara saja, mereka akan aman, apalagi di tengah laut ada perbatasan tiga negara, indonesia-malaysia-filipina.

Catatan dari ujung borneo, berdasarkan hasil jalan-jalan dan perbincangan dari beberapa orang disini.

Sebatik, 24 Jan 14, acc...

Akhir 2013

Seperti tahun sebelumnya, kemeriahan selalu mewarnai malam pergantian tahun, momen sama yang sudah saya saksikan sejak kecil dulu. Ini sudah seperti sebuah tradisi atau sebuah ritual, terkhusus bagi remaja atau muda mudi, meskipun orang tua ada juga yang berpartisipasi, ini seperti hari perayaan kebesaran lainnya, dan semoga saya salah atas pernyataan tersebut.
Tapi jika ini adalah sebuah tradisi, maka ini tradisi yang lintas batas, lintas usia, lintas golongan, suku, ras bahkan agama.
Terlepas dari pro dan kontra berbagai penanggap, tapi realitanya seperti itu. Perayaan ini identik dengan pesta atau hura-hura, mulai dari kota besar hingga ke desa, mulai dari menyewa musik mahal, elektone, atau sekedar mengeluarkan speaker pribadi ke pinggir jalan kemudian bernyanyi bersama, perayaan dalam kategori paling sederhana biasanya sekedar berkumpul bersama dalam canda tawa menikmati kopi, teh atau minuman kemasan seperti teh gelas dan tahu isi. Yang sedikit religius biasanya merayakannya dengan doa bersama, atau yang membingkainya dalam nuansa intelektual biasa merayakan dengan diskusi bersama, setelah itu makan-makan..

Sore ini tanda-tanda perayaan itu semakin jelas, meskipun dari kemarin sebenarnya sudah banyak yang curi start, lebih duluan meledakkan petasan dan kembang api. Tapi sore ini semua semakin gencar, semakin gesit untuk menuju puncak perayaan. Penjual petasan dan kembang api semakin sengit bersaing memikat pembeli. Tidak mau kalah, penjual jagung, penjual ikan dan penjual arang ambil andil untuk mereka yang akan merayakan dengan bakar-bakar jagung atau ikan.. penjual terompet yang harus kerja ekstra membungkus jualan mereka agar tidak basah oleh rintik hujan juga berperan aktif.
Di sudut kota sana, mereka yang berlebih sudah mulai masuk ke ruang-ruang yang sedikit mewah, yang dipenuhi lampu kedap-kedip berwarna warni, bersama pasangan masing-masing atau teman-teman mereka tentunya. Ada juga katanya yang merayakan di kamar hotel, tapi..akh.. entahlah dengan itu, saya tidak paham.

Rintik hujan yang begitu tipis, kecil-kecil terus menetes dari langit, sepertinya ia sudah lelah dari pagi tadi menyerang dengan derasnya, membasahi bumi hingga tanah tak mampu lagi menampung airnya, dan membiarkan menggenang di permukaan. Ini tentunya baik mereka, hujan tidak menghalangi mereka keluar malam ini, rintik kecil bukan hal yang berarti, basah sedikit bukanlah sebuah masalah untuk acara tahunan ini. Bahkan rintik itu menjadi hiasan alami, warna yang terlihat indah menetes diselah cahaya lampu jalan.
Kembang api sudah mulai ramai mewarnai langit, petasan yang bersahutan seperti bersaing satu sama lain, suara bising, suara musik dan suara cempreng yang ikut menyanyi mengisi  hingga detik-detik menghitung mundur pergantian tahun. 10-9-8-7-6-5-4-3-2..dan tiba-tiba terdengar suara gemuruh, semua diam, berhenti menghitung..dan seketika suara ledakan pecah..mereka berteriak histeris, berlari berhamburan...ahhh...itu badai..meruntuhkan gedung, membelah jalan, mereka berlarian menyelamatkan diri..seperti semut yang disiram air keras, ada yang terinjak ada yang melompat.. hanya hitungan detik, air laut ikut meluap, diikuti longsor..semua disapu rata, gedung, rumah, kendaraan, semua digilas habis..banyak dari mereka terseret, ada yang tertimpa bangunan..atap seng beterbangan, menghantam siapa saja yang dilewati..suara petasan dan nyanyian berganti histeris dan tangis, darah banyak yang tertumpah.. rata..semua rata..mereka terkapar, ada yang kehilangan kepala, badan mereka terpotong menjadi dua, bahkan ada yang hancur remuk..tragis, sedih..
Tiba-tiba semua hening, dan terdengar suara perempuan "sayang, bangun maki, jadi mi kopi ta sama pisang goreng di meja"..ahh, itu suara istriku.. :D :D

acc...
(Sinjai: 31 Desember 2013)