Menarik Dikunjungi

Silahkan Klik untuk selengkapnya

Cerita Sunset

Silahkan klik untuk selengkapnya

Menatap Jauh

Silahkan klik untuk selengkapnya

Kita dan Mereka

Silahkan klik untuk selengkapnya

Berbagi Foto

Silahkan Klik untuk selengkapnya

The Power of Nasi Kuning

Disebuah meja warkop yang sederhana, pertemuan teman lama berlangsung. Rinai hujan dengan hembusan angin malam, cukup menyejukkan suasana. Sama seperti biasanya, pertemuan dengan teman lama, lebih banyak bernostalgia dan saling menanyakan kabar. Entah kabar sendiri atau kabar teman lainnya. Pembahasan dalam sebuah pertemuan, Itu kadang bisa menjadi cerminan dengan siapa kita sedang berbicara. Jika kebanyakan membahas tentang masa lalu, artinya teman bicara kita adalah orang yang sudah cukup berumur atau tua, sementara jika membahas tentang masa depan, biasanya mereka ini anak muda yang masih produktif.
Karena saya masih muda, produktif dan menolak tua, maka saya tidak ingin terjebak dalam nostalgia yang berlarut larut. Pembicaraan dialihkan ke persoalan masa depan. Yang berlalu biarkan berlalu, menjadi kenangan dan pembelajaran, masa depan menanti kita.

Satu persatu membahas tentang rencana usaha, ada juga yang ingin meniti karir menjadi pegawai dan pejabat. Semua adalah cita-cita, tidak ada yang salah dari sebuah cita-cita, katanya bermimpilah setinggi langit, sehingga saat jatuh, jatuhnya di antara bintang-bintang. Tapi jangan lupa, semakin tinggi, di antara bintang-bintang itu, angin berhembus sangat kencang, bisa menghempaskan kita kesana kemari, jadi jangan membayangkan jatuh di antara bintang-bintang seperti melayang indah dan perlahan turun diiringi alunan musik yang lembut kemudian mendarat dengan indah. Kita tidak sedang berada dalam cerita film india yang pemeran utama selalu menang mendapatkan kekasih tercintanya. Sehingga lebih baik jika membuat sebuah mimpi yang lebih realistis dan lebih terukur.

Saat teman bertanya, rencana kamu apa?
Sederhana, saya ingin jualan nasi kuning dpinggar jalan. 
Serentak mereka ketawa dan melirik.
Why not, dengan seperti itu saya bisa bahagia. Itu adalah impian terbesar dalam hidup saya sekarang ini.

Saya punya mitra, dia orang yang bisa membuat jualan nasi kuning menjadi menyenangkan dan lebih dari sekedar cari nafkah. Konsep yang ditawarkan juga sederhana, sesederhana cinta yang rela sakit agar terus bertahan. Haha. 
Semua orang butuh makan, dan ketika makanan itu kita buat dengan niat yang tulus, diracik dengan penuh kasih sayang dan takaran bumbu yang pas, percayalah setelah makan pasti akan kenyang. Haha.

Apa menariknya usaha ini? 
Sebenarnya sama saja dengan yang lain, bedanya, ini menjadi momentum pribadi untuk mengaktualkan sebuah kisah perjuangan bersama, berbagi, dan memulai mengukir cerita baru. Kebahagiaan itu, jika bisa membuat orang lain bahagia, dan kebahagiaan orang lain salah satunya ketika ia kenyang dari laparnya, ketika ia lega dari hausnya, kemudian mereka berdiri mengucapkan terima kasih, sambil tersenyum lalu pergi. Ini mungkin melelahkan, tapi lelahnya jika dilakukan bersama dengan tulus kemudian pulang istrahat, akan bisa lebih dinikmati. Apalagi jika rutin diselingi dengan liburan, ke pantai menikmati suara ombak atau ke gunung menghirup udara sejuk, bertafakur dan bercengkrama dengan alam, kita adalah dua sisi yang terpisah tapi bisa menyatu dalam kasih. 
Saya ingin berjuang, menyatu dan mewujudkan mimpi itu, karena saya tidak mau merasakan pahitnya terasing dalam kesendirian hidup.

Hujan dan Harapan

Ternyata hujan malam ini tidak menyejukkan. Rinai dan gemuruhnya justru membawa duka. Ada kerinduan yg tak bisa diluapkan, ada rasa yang menggumpal namun tak bisa disandarkan. Hujan malam ini memberi sejuta tanya, mendendangkan lagu kesedihan.

Jika esok adalah pagi, maka munculkanlah segera dengan pelanginya. Kami bukan tak mau mengikuti alur, cuma sedikit bosan dengan ritme yang berulang. Jika ini adalah jalan, maka perlihatkanlah gerbang kebahagiaan, yang selalu kami sebut dalam setiap doa.

Ini terlalu indah untuk berputus asa, dan  terlalu berat untuk ditinggalkan. Kami dalam ikrar janji yang mungkin tak suci, meminta sedikit cahaya, berikan temaram dalam jalan gelap ini.
Biarkan mimpi-mimpi menjadi nyata, melanjutkan kisah dan mengukir cerita.

Kabulkanlah doa kami, para pendosa yang tak tau diri..

Menemukan Surga di Marumasa

Pagi ini berangkat ke Marumasa, pantai yang eksotik dengan pasir putihnya, air yang jernih dan gugusan tebing-tebing karang yang indah. Tempat ini masih sangat alami dan belum begitu terjamah oleh tangan-tangan yang seolah traveler seperti saya ini.

Marumasa memberi kesan pertama yang membekas di hati, sehingga saya selalu senang untuk mengulang kunjungan. Di tempat ini kami pernah berbagi cerita, ada tawa, ada canda, ada kisah yang mengharu biru, ada tangis yang pecah dalam pelukan, ada penyesalan, ada ketakutan, ada harapan, ada rasa dan asa, ada suara ombak yang mengiringi menjemput pagi... ooh iaa, ada ular juga yang mengacau duduk melingkar kami..

Jalan-jalan bagi saya bukan hobby, hanya sekedar suka dengan suasana alam yang alami, seperti pantai, gunung, udara yang sejuk, suara ombak, suara burung liar, embun dan cahaya bintang malam. Bercengkrama dengan alam mengajarkan bahwa kita ini makhluk kecil yang tak ada apa-apanya, hanya bagian terkecil dari makrokosmos, lalu apa yang mau disombongkan? Berada di alam bebas itu menenangkan pikiran, mengajarkan kita ikhlas dan tegar, seperti karang yang terus dihantam oleh hempasan ombak, daun yang gugur oleh angin, seperti hujan yang rela jatuh meski tak tau akan jadi apa ia nanti, atau seperti akar yang bekerja dalam sunyi diam tanpa suara tapi menjadi kontributor utama bagi kehidupan pohon. Atau seperti pohon yang terus memberi sumbangsi oksigen yang kita hirup sekarang ini. Seperti marumasa yang membuat saya tenang saat duduk di tepi pantainya.

Ini kunjungan ke tiga, dan saya hanya bertiga, sebelumnya ramai-ramai, tempat ini harusnya bersyukur, karena selama tiga bulan berturut-turut saya berkunjung ke sini, pantai lain belum ada yang saya kunjungi sesering ini, hahaha. Rencana awal sebenarnya akan berangkat jam 1 malam, hanya saja ibu dari anakku melarang karena alasan cuaca buruk dan tidak aman, apalagi jaraknya cukup jauh dari kota Bulukumba, sehingga perjalanan ditunda sampai subuh. “mblo.. catat, larangan itu bentuk perhatian dan kasih sayang” :D

Matahari sementara siap-siap untuk kembali mengerjakan tugas, belum nampak di ufuk timur sana, kami sampai di pantai dan langsung membuka bekal nasi kuning, ini seperti pepatah lama “nasi kuning sebungkus menghapus lapar semalam”. Untuk berfoto selfie di pantai kita butuh energi yang cukup, sehingga mendahulukan nasi kuning sangatlah wajar sebelum mulai beraksi dengan kamera hp masing-masing, sekedar mengambil gambar untuk kepentingan eksist di medsos, atau membuat video banyaknya air, bambangnya alo.... hahahaha. Makan nasi kuning sambil duduk jongkok di atas pasir, hembusan angin yang menerbangkan pasir-pasir halus membuat nasi kuning ini bertambah banyak dan berubah rasa, minyak dibutiran nasi ternyata mampu menjadi magnet yang baik untuk menempelkan pasir, sungguh luar biasa..

Setelah kekenyangan, rencana tidak berjalan sesuai rencana. Badai datang tiba-tiba dan saya pun jadi panik. Mencari-cari tempat yang bisa berlindung, seperti semak belukar atau sejenisnya. Mata memandang jauh, mencari disetiap sudut, adakah tempat yang bisa jongkok dan mengeluarkan hajat. Ah, ini sangat membuat saya panik, tempat bersembunyi ada diselah tebing, cuma tak ada air untuk menyiram, sementara serangan sudah mulai ke ujung. Akhirnya saya memutuskan mencari tiga biji batu kecil untuk digenggam, entah hubungannya apa, kata orang jika hendak buang air besar, genggam saja tiga batu kecil untuk menahan rasa ingin buang. Tapi saya belum yakin, sudah saya genggam erat namun badai dalam perut tetap terasa, serangannya semakin kuat, tidak ada tanda-tanda gencatan senjata dari dalam. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang dan berharap dijalan segera menemukan tampat untuk melampiaskan hajat, saya pun berjalan, tidak begitu cepat, takut terlalu melebarkan kaki saat melangkah, saat duduk pun hanya memanfaatkan ujung-ujung jok. Ah ini liburan atau latihan menahan panik. Beberapa rumah warga sudah mulai kelihatan, mata sudah jelalatan mencari kiri kanan, dan akhirnya dari jauh terlihat mesjid, dalam hati dan dengan penuh keyakinan, pasti ada wc disana. Ternyata mesjid itu sedang renovasi, keyakinan ada wc mulai pudar, tetapi tetap dicoba untuk berhenti, berjalan masuk gerbang, bertanya pada tukang yang bekerja disitu, dia menunjukkan wc. dan pas saya buka pintu betapa luar biasanya, ada air yang banyak, ahh...saya seperti menemukan surga yang melegakan.

Karena Kopi Kita Bersama dengan Kopi Kita Berbagi

Ternyata, Blog ini tdk pernah di update sejak februari 2015, dan nyaris tdk ada list tulisan di tahun 2016. Saya sungguh tidak produktif dan tidak punya bakat dalam hal tulis menulis.
Saya munculkan tulisan ini agar tahun 2016 tetap ada di list blog arcive, sekalian promosikan nama cafe kiranya terbaca oleh kakak google kalau ada yang searching. Wkwkwkwkwkw..

Sejak bulan Juli 2016, ada yang menyebutnya warkop kopialisme, ada pula yang sebut kopilisme coffee shop bulukumba, ada juga yang bilang Kopialisme cafe bulukumba, tapi apapun penamaan orang untuk tempat ini, kami sangat bersyukur karena bisa hadir di tengah-tengah masyarakat bulukumba. meskipun masih sangat terbatas dan punya banyak kekurangan akan tetapi kami berharap bisa berbuat secara maksimal untuk memuaskan kebutuhan pelanggan.

Kopi itu selalu menjadi kambing hitam, ia selalu dijadikan alasan, “ngopi deh” atau “ayo ngopi” padahal sampai di tempat tujuan, pesan minum bisa saja bukan kopi. Kopi sudah jadi trand, banyak quote bermunculan tentang kopi, bahkan jadi meme. “cukup kopi saja yang pahit, hidupmu jangan” atau “ketika otak perlu inspirasi” semua itu bagian yang menjadikan kopi agak populer, bahkan pernah saya baca buku yang judulnya, “tuhan dalam secangkir kopi”, padahal isinya tidak membahas kopi saja, ada juga membahas tentang an-nisa ayat 3, tapi saya suka itu buku, misi kami sama, pejuang an-nisa ayat 3.. hahaha.. dari hal-hal tersebut saya menganggap kalau sekarang kopi itu sudah menjadi sebuah “paham” atau bahasa kerennya “isme” sehingga muncullah nama “Kopialisme” (nah iklan kan) hahahahaha...


Ketika ada yang bertanya, apa hal yang saya andalkan di Kopialisme? Saya jawab, saya punya tim yang hebat, mereka kompak dan mereka mau jalan bersama membangun dan meraih cita-cita bersama. Memang kami berasal dari latar belakang yang berbeda, tetapi kopi lah yang menyatukan kami, dan cita-cita besar yang mempererat. Cita-cita untuk bisa berbagi bahagia dengan orang lain. 

Selfie Bersama Rifal

Ibu kota memang lebih kejam dari ibu tiri. Mungkin sudah diketahui oleh orang banyak, ibu kota selalu memaksa kita bekerja keras agar tetap bisa bertahan hidup, untuk sekedar berdiri menatap dengan mata yang merah karena debu, dan menghirup udara yang penuh polusi. Ibarat sebuah kompetisi, kalau tidak menang ya harus mati, atau seperti mesin yang bekerja secara mekanistik hingga aus dan berujung di timbangan barang bekas.

Rifal, dia datang lagi. Dengan ekspresi yang sudah diatur , berdiri memegang daun pintu dan mengeluarkan suara seraknya yang nyaris tak terdengar, meskipun tanpa bersuara sebenarnya, kita sudah bisa tau maksud dan tujuannya. Rifal, sudah akrab dengan tempat kami, itulah sehingga saya kenal namanya, ia sudah sering berkunjung, menemui kami dan mereka disepanjang lorong ini. Seperti seorang adik yang menemui kakaknya saat uang jajannya sudah habis. Tapi sayang sekali, kami sering menjadi kakak yang jahat, pura pura sibuk dan tidak memberi, dengan alasan itu akan merusak mental anak-anak yang akan terbiasa menengadahkan tangan, alasan yang cukup menarik, apalagi untuk menutupi sifat kikir. Rifal kami biasakan bekerja dulu baru dapat hasil, sehingga saat datang, ia langsung lirik tempat sampah di sudut ruangan, buang sampah dulu di penampungan ujung lorong, baru diberi, anggap saja itu gaji dia sudah bekerja. Meskipun sebenarnya itu pekerjaan yang sangat ringan bagi pemalas sekalipun. Tapi setidaknya ada usaha dan proses, bukan sekedar tengadah tangan.

Tapi malam ini beda, Rifal tidak punya tugas, karena tidak ada sampah di sudut ruangan, sehingga saya memanggilnya untuk duduk di kursi pas depan papan tulis, saat pantatnya sudah pada posisi bagus di kursi, saya menarik kursi merapat di samping saya, mendekatkan jarak kami agar bisa bercengkrama lebih intim, agar bau khas matahari bisa tercium jelas, dan meraba rambutnya yang dibalut debu jalanan. Ya dasar orang yang tidak mau rugi, tidak mau memberi begitu saja dan membiarkan Rifal pergi melanjutkan misi, misi mengumpulkan uang sebanyak banyak nya. Tapi niat untuk berfoto selfie dengan Rifal lah yang mendesak saya untuk memanggilnya duduk, bercengkrama seperti teman lama yang baru ketemu. Meskipun kenyataanya beda, saya tidak seperti teman lama yang lagi rindu, tetapi seperti tim introgasi yang ditugaskan mengumpulkan data sebanyak banyak nya dari narasumber. Pertanyaan demi pertanyaan meluncur, dan rifal menjawab dengan suara seraknya yang setengah berbisik, kadang memaksa saya harus mengulang dan memperjelas jawaban.

Rifal itu tinggal di jalan pelita, sekolahnya di jalan bantabantaeng, dia masih kelas satu, semester yang lalu dia juara dua dikelasnya. Dia tidak pernah terlambat ke sekolah, meskipun jarak yang sedikit jauh dengan perjalanan menggunakan kaki, dia biasa berangkat jam 7 pagi, tetapi dia tidak pernah terlambat. “Kenapa bisa? Na jauh itu” saya memperjelas. “Ka lari ka, ku gendong tas ku baru biasa ka baku kejar sama teman ku” jawabnya polos dan sedikit bangga. Sayang sekali rasa bangganya langsung saya jatuhkan, saat bertanya kenapa tidak bisa juara satu, kenapa harus kalah dengan satu orang teman kelas. “Ka besar ki dia, kakakku saja na kalah besar” jawabnya sambil menunduk, seperti menyesali postur badannya yang masih kecil. “Bukan persoalan besar kecilnya badan Rifal, tetapi siapa yang rajin belajar, na kau kalau selalu keluar malam-malam begini, kapan waktumu untuk belajar”? saya kembali menjatuhkan rasa bangganya. “kalau pulang ka ini belajar ma, kerja PR baru tidur” jawabnya lagi. Rifal punya semangat belajar, dia berbeda dengan beberapa anak di jalanan yang kadang meminta-minta menjadi profesi menarik dan menggiurkan, apalagi jika itu adalah desakan orang tua atau bos, menggiurkannya beda tipis dengan MLM. “Kalau pulang sekolah langsung pergi minta-minta?” saya kembali bertanya. “Tidak, makan ka dulu, baru pergi main-main, sore pi biasa baru pergi minta-minta, jam 9 pulang ma, kerja PR baru tidur” jawabnya tegas. Sepertinya Rifal memiliki manajemen waktu yang baik. “Terus kenapa kamu pergi minta-minta? Mamamu yang suruh?” saya bertanya seperti menuduh. “bukan, saya sendiriji, namarahi ka kalau na tau, apalagi bapakku, mungkin na pukulka, ada temanku pernah lapor ka sama mamaku, jadi na taumi mamaku ia” Jelasnya yang saya coba simpulkan dari suaranya yang kadang susah didengar. Rifal itu anak ke enam dari delapan bersaudara, ibunya bekerja mengumpulkan botol bekas, ayahnya “kerja rumah batu” kata Rifal yang tidak mau mengalah saat saya pertegas itu maksudnya tukang batu.

“Rifal, tidak baik selalu minta-minta, itu merusak mental” saya mencoba menjadi penasehat yang baik. “robek ki?” dia kira yang saya maksud mantel jas hujan. Yaa entahlah Rifal. “lebih baik kamu jual-jualan” saya kembali menasehati. “beli coki-coki sepuluh ribu, terus kamu jual disekolah, atau orang yang dijalan, berapa harganya coki-coki?” saya bertanya. “Limbi’ (baca: Limabilangngang/Lima ratus) jawab Rifal singkat. “nah, kamu jual seribu, kan sudah ada untungmu lima ratus, jadi tadi uang mu sepuluh ribu bisa jadi dua puluh ribu” saya menjelaskan itu karena teringat dan sering melihat banyak anak muda yang biasa melakukannya di lampu merah. “iyye” jawabnya sambil ayun-ayunkan kaki. “Fotoki dulu Rifal, pintar ji kah foto sendiri?” sambil mengambil hp dan memberikannya pada Rifal, meskipun dia tidak mahir selfie, tapi setidaknya ia bisa menekan tobol mengambil gambar. “pulang mi Rifal, malam mi, kerja PR mu supaya bisa rangking satu” saya menyuruh sambil merangkul bahunya. “Kapan kah penerimaan Rapor lagi”? tanyaku saat dia sudah mulai berdiri. “kalau sudah makan-makan” jawabnya dengan sangat polos. “begini, kalau kamu bisa rangking satu, saya kasih hadiah” saya memberi iming-iming yang sebenarnya tidak baik juga bagi mentalnya. “Tojengki” katanya.. “iya, cari ma nanti disini kalau sudah mi terima rapor, nah..”

“iyye, pale’ pulang ma dulu”

Rifal, meskipun kesehariannya di jalan, tapi ia berhasil mendapat juara dua. anak SD kelas 1 ini punya semangat, meskipun ia tak tau kapan terima rapor, yang pasti waktu itu akan tiba setelah acara makan-makan di sekolah.

Jalan Jalan Ke Lappatoa Pinrang

Saya tidak tau dan tidak pandai menyusun kata dengan baik untuk mendeskripsikan perjalanan ke Lappatoa Pinrang agar menarik dibaca. 
Sehingga dengan foto foto berikut saya berharap itu bisa mewakili cerita lewat gambar. dan jika ada yang pandai membuat cerita silahkan dideskripsikan.


intinya: Untuk menuju Lappatoa tidaklah mudah, harus melewati jalan kecil, mendaki dan menurun, penuh bebatuan dan terjal. kendaraan yang bisa lewat hanyalah kendaraan khusus seperti motor yang sudah dimodif sedemikian rupa.
Di sana hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga, mereka sangat baik dan ramah. hasil bumi cukup banyak seperti cengkeh dan kopi, pemandangan alam yang indah dan alami bisa kita temui disana.
"Lappatoa, the hidden paradise"

Lirik lagu ana' kukang

Kukanga tunipela, tunibuang ri tamparang
kunianyukang ri je'ne, narappung tau maraeng
caddi-caddi duduinja, nanapelakka anrongku
mantang mama kale-kale, tu'guru je'ne matangku
aule..sare-sarena i kukang sayang
sare tea takkucini'
empo tena mate'nena

aule..sare-sarena i kukang sayang
sare tea takkucini'
empo tena mate'nena

Kukanga tunipela, tunibuang ri tamparang
kunianyukang ri je'ne, narappung tau maraeng
aule..sare-sarena i kukang sayang
sare tea takkucini'
empo tena mate'nena
......


Lagu ini bercerita tentang seorang anak yang dibuang oleh ibunya.
ana' kukang adalah bahasa makassar, yang berarti anak sebatang kara (yatim piatu)

Ana' kukang (anak yatim piatu) yang dibuang dilautan.
dipungut orang lain..
tinggallah sendiri, meratapi nasib dalam linangan air mata.

saya ingin mencoba menerjamahkan lirik lagu ini kedalam bahasa Indonesia,
tapi lumayan susah karena akan menggeser makna dari lagu.