Nasionalisme bukan Hobi

Ini bukan sebuah nasionalisme yang tiba-tiba membara karena setting kepentingan kelompok tertentu, membenci Negara lain karena hasutan dan menjadi orang yang seolah sangat cinta tanah air. Atau nasionalisme yang muncul karena senang menonton pertandingan bulu tangkis. Bukan nasionalisme yang dibungkus dengan hobi bola, sehingga merah putih dan garuda melekat di dada. Ini bukan nasionalisme momentum tujuh belasan di bulan agustus.

Tak banyak yang pernah mengunjungi mereka, apalagi pejabat tinggi yang tentu tidak akan tertarik mengendarai motor menyusuri jalan berbatu dan sempit, naik turun gunung dan bermain dengan jurang yang terjal. Beberapa teman, yang mengaku orang soppeng asli saat saya tanya, ternyata belum pernah kesana, pernah dengar namanya, tapi belum pernah kesana. Jangankan itu, sinyal frekuensi telepon pun masih malu-malu mengunjungi mereka, listrik mereka peroleh dari genset dan pembangkit alternatif.

Di umpungeng kabupaten soppeng, Sulawesi selatan, mereka menggelar sebuah acara adat, maccera’ tanah atau menumpahkan darah hewan, tanggal 12-14 maret 2014 kemarin. Kembali merefleksikan masa-masa mengharukan DI/TII, masa kritis saat Indonesia baru saja dideklarasikan sebagai Negara yang merdeka, masa dimana di tempat mereka terjadi pembunuhan dan menumpahkan darah pendahulu mereka. Hal yang menarik dari acara ini, meskipun ini adalah sebuah acara adat dan bukan ritual kebangsaan, tetapi bendera merah putih dipegang erat oleh mereka, dikibarkan di barisan terdepan iring-iringan rombongan. Ini adalah bentuk ke cintaan mereka terhadap bangsa, meskipun acara mereka tidak dihadiri oleh pemerintah atau presiden atau pejabat negara lainnya. Ini adalah refleksi masa-masa DI/TII, pertarungan gerilyawan melawan tentara Indonsia, dan mereka memperjelas keberpihakan mereka, bahwa merah putih harus tetap dikibarkan, kecintaan tanpa ada kepentingan dan bukan sekedar hobi. Acc…

2 komentar: