Kopi dan PNS

Persis seminggu yang lalu, di tempat yang sama, jam yang hampir sama, dengan tujuan yang sama pula, saya duduk menunggu di sebuah gerai penjual kopi panas. Memesan segelas kemudian duduk di pinggir paling dekat dengan jalan. Jika minggu lalu yang duduk disudut gerai itu adalah empat orang laki-laki dengan seragam korpri, sekarang berbeda, ada lima ibu-ibu dan satu laki-laki yang masih muda, seragamnya sekarang bukan korpri, tapi pakaian dinas dengan tulisan pemerintah kota. Mungkin mereka PNS pemerintahan, mengingat depan gerai ini adalah kantor walikota, atau mungkin mereka honorer, yang jelas mereka bukan pegawai swasta. Jam 10 pagi, mereka asik berbincang, menikmati pagi dengan minuman masing-masing, bercanda satu sama lain dan tertawa riang, memang asik jadi PNS kalau seperti ini, kerja santai dan gaji tetap jalan. Tapi harus diperjelas, mereka belum tentu pegawai yang malas, mungkin karena tidak ada pekerjaan di kantor sehingga duduk santai seperti itu adalah pilihan terbaik. Sebenarnya saya iri sekaligus sedih, karena beberapa tahun lalu saya ikut mendaftar PNS tapi tidak lulus. Alasan saya sederhana, saya ingin bekerja dan  mendapatkan gaji setiap bulannya, dengan gelar pegawai negeri sipil hingga tua dan pensiun tetap akan menerima gaji. Keuntungan pegawai negeri dibandingkan pegawai swasta, pegawai negeri relatif aman dan mekanisme pemecatan lumayan susah, jika tidak disukai oleh atasan paling akan dimutasi. Berbeda dengan pegawai swasta yang kapan saja bisa dipecat, jika atasan sudah tidak senang atau kinerja menurun, maka banyak alasan bisa ia gunakan untuk memecat. Katanya, PNS itu digaji dari hasil pajak, dan yang taat bayar pajak akan digelari orang bijak. Harusnya selain gelar bijak masyarakat juga bisa mendapatkan fasilitas lebih bukan sebaliknya. Masyarakat sudah membayar melalui pajak, tapi jika ingin mengurus administrasi atau KTP misalnya, jangan harap bisa cepat selesai jika tidak ada selip-selip di bawah tangan. Tapi.. Sudahlah.. ini bukan hal tabu lagi dan kadang beberapa orang menganggap itu wajar-wajar saja. Pegawai dengan golongan dibawah kadang kurang puas dengan gajinya, sehingga lewat jalur itulah mereka bisa dapat tambahan pembeli rokok atau pembeli kopi. Saya juga sering menempuh jalur itu agar bisa dapat pelayanan ekspres. Selain itu mereka harus mengembalikan modal, katanya, dan mudah-mudah ini cuma issu, mereka harus membayar sekian rupiah agar bisa lolos jadi pns, meskipun tidak semua membayar seperti itu. Bagi yang punya uang, membayar puluhan juta bahkan ratusan juta lebih baik daripada jadi pengangguran. Seandainya beberpa tahun lalu saya punya uang, mungkin saya juga akan menempuh jalur itu, anggaplah seperti investasi atau menabung, setiap bulannya akan diterima bahkan hingga kita meninggal, menarik bukan, siapa yang tidak ingin jadi pns jika seperti itu. Tetapi ini bukan investasi yang seperti pada umumnya, jalurnya pun bukan jalur umum, seperti lewat di lorong rahasia, tidak semua bisa melewati, meskipun sebenarnya sudah menjadi rahasia umum.
Tapi itu hanya akan menjadi angan-angan  bagi yang tidak punya uang, yaah.. pns itu seperti mimpi manis bagi mereka yang bukan anak orang kaya, bukan anak pejabat, atau bagi mereka yang tidak punya koneksi. Skill, keahlian, kecerdasan biasanya tidak berlaku pada kondisi seperti itu. Berdoa cara yang baik, agar kondisi bisa berubah, agar penerimaan bisa objektif, dan katanya akhir-akhir ini, objektif itu sudah dijalankan. Semoga saja..
Ah, Saya ini seperti orang yang iri luar biasa, mengomel karena tidak bisa..
sudahlah.. kopi saya mulai dingin..

0 komentar:

Posting Komentar