Pagi
ini berangkat ke Marumasa, pantai yang eksotik dengan pasir putihnya, air yang
jernih dan gugusan tebing-tebing karang yang indah. Tempat ini masih sangat alami dan belum begitu terjamah oleh
tangan-tangan yang seolah traveler seperti saya ini.
Marumasa memberi kesan pertama yang membekas
di hati, sehingga saya selalu senang untuk mengulang kunjungan. Di tempat ini
kami pernah berbagi cerita, ada tawa, ada canda, ada kisah yang mengharu biru,
ada tangis yang pecah dalam pelukan, ada penyesalan, ada ketakutan, ada
harapan, ada rasa dan asa, ada suara ombak yang mengiringi menjemput pagi...
ooh iaa, ada ular juga yang mengacau duduk melingkar kami..
Jalan-jalan bagi saya bukan hobby, hanya
sekedar suka dengan suasana alam yang alami, seperti pantai, gunung, udara yang
sejuk, suara ombak, suara burung liar, embun dan cahaya bintang malam. Bercengkrama
dengan alam mengajarkan bahwa kita ini makhluk kecil yang tak ada apa-apanya,
hanya bagian terkecil dari makrokosmos, lalu apa yang mau disombongkan? Berada di
alam bebas itu menenangkan pikiran, mengajarkan kita ikhlas dan tegar, seperti
karang yang terus dihantam oleh hempasan ombak, daun yang gugur oleh angin,
seperti hujan yang rela jatuh meski tak tau akan jadi apa ia nanti, atau seperti
akar yang bekerja dalam sunyi diam tanpa suara tapi menjadi kontributor utama
bagi kehidupan pohon. Atau seperti pohon yang terus memberi sumbangsi oksigen
yang kita hirup sekarang ini. Seperti marumasa yang membuat saya tenang saat
duduk di tepi pantainya.
Ini kunjungan ke tiga, dan saya hanya
bertiga, sebelumnya ramai-ramai, tempat ini harusnya bersyukur, karena selama
tiga bulan berturut-turut saya berkunjung ke sini, pantai lain belum ada yang
saya kunjungi sesering ini, hahaha. Rencana awal sebenarnya akan berangkat jam
1 malam, hanya saja ibu dari anakku melarang karena alasan cuaca buruk dan
tidak aman, apalagi jaraknya cukup jauh dari kota Bulukumba, sehingga
perjalanan ditunda sampai subuh. “mblo.. catat, larangan itu bentuk perhatian
dan kasih sayang” :D
Matahari sementara siap-siap untuk kembali
mengerjakan tugas, belum nampak di ufuk timur sana, kami sampai di pantai dan
langsung membuka bekal nasi kuning, ini seperti pepatah lama “nasi kuning
sebungkus menghapus lapar semalam”. Untuk berfoto selfie di pantai kita butuh
energi yang cukup, sehingga mendahulukan nasi kuning sangatlah wajar sebelum mulai
beraksi dengan kamera hp masing-masing, sekedar mengambil gambar untuk
kepentingan eksist di medsos, atau membuat video banyaknya air, bambangnya
alo.... hahahaha. Makan nasi kuning sambil duduk jongkok di atas pasir,
hembusan angin yang menerbangkan pasir-pasir halus membuat nasi kuning ini
bertambah banyak dan berubah rasa, minyak dibutiran nasi ternyata mampu menjadi
magnet yang baik untuk menempelkan pasir, sungguh luar biasa..
Setelah kekenyangan, rencana tidak berjalan
sesuai rencana. Badai datang tiba-tiba dan saya pun jadi panik. Mencari-cari
tempat yang bisa berlindung, seperti semak belukar atau sejenisnya. Mata memandang
jauh, mencari disetiap sudut, adakah tempat yang bisa jongkok dan mengeluarkan
hajat. Ah, ini sangat membuat saya panik, tempat bersembunyi ada diselah
tebing, cuma tak ada air untuk menyiram, sementara serangan sudah mulai ke
ujung. Akhirnya saya memutuskan mencari tiga biji batu kecil untuk digenggam,
entah hubungannya apa, kata orang jika hendak buang air besar, genggam saja tiga
batu kecil untuk menahan rasa ingin buang. Tapi saya belum yakin, sudah saya
genggam erat namun badai dalam perut tetap terasa, serangannya semakin kuat,
tidak ada tanda-tanda gencatan senjata dari dalam. Akhirnya saya memutuskan
untuk pulang dan berharap dijalan segera menemukan tampat untuk melampiaskan
hajat, saya pun berjalan, tidak begitu cepat, takut terlalu melebarkan kaki
saat melangkah, saat duduk pun hanya memanfaatkan ujung-ujung jok. Ah ini liburan
atau latihan menahan panik. Beberapa rumah warga sudah mulai kelihatan, mata
sudah jelalatan mencari kiri kanan, dan akhirnya dari jauh terlihat mesjid,
dalam hati dan dengan penuh keyakinan, pasti ada wc disana. Ternyata mesjid itu
sedang renovasi, keyakinan ada wc mulai pudar, tetapi tetap dicoba untuk
berhenti, berjalan masuk gerbang, bertanya pada tukang yang bekerja disitu, dia
menunjukkan wc. dan pas saya buka pintu betapa luar biasanya, ada air yang
banyak, ahh...saya seperti menemukan surga yang melegakan.
0 komentar:
Posting Komentar