Ibu kota memang lebih kejam dari ibu tiri. Mungkin sudah diketahui oleh orang banyak, ibu kota selalu memaksa kita bekerja keras agar tetap bisa bertahan hidup, untuk sekedar berdiri menatap dengan mata yang merah karena debu, dan menghirup udara yang penuh polusi. Ibarat sebuah kompetisi, kalau tidak menang ya harus mati, atau seperti mesin yang bekerja secara mekanistik hingga aus dan berujung di timbangan barang bekas.
Rifal, dia datang lagi.
Dengan ekspresi yang sudah diatur , berdiri memegang daun pintu dan
mengeluarkan suara seraknya yang nyaris tak terdengar, meskipun tanpa bersuara
sebenarnya, kita sudah bisa tau maksud dan tujuannya. Rifal, sudah akrab dengan
tempat kami, itulah sehingga saya kenal namanya, ia sudah sering berkunjung,
menemui kami dan mereka disepanjang lorong ini. Seperti seorang adik yang
menemui kakaknya saat uang jajannya sudah habis. Tapi sayang sekali, kami
sering menjadi kakak yang jahat, pura pura sibuk dan tidak memberi, dengan alasan itu akan merusak mental anak-anak yang akan terbiasa
menengadahkan tangan, alasan yang cukup menarik, apalagi untuk menutupi sifat
kikir. Rifal kami biasakan bekerja dulu baru dapat hasil, sehingga saat datang, ia langsung lirik tempat sampah di sudut ruangan, buang sampah
dulu di penampungan ujung lorong, baru diberi, anggap saja itu gaji dia sudah bekerja. Meskipun sebenarnya itu pekerjaan yang sangat ringan bagi pemalas
sekalipun. Tapi setidaknya ada usaha dan proses, bukan sekedar tengadah tangan.
Tapi malam ini beda,
Rifal tidak punya tugas, karena tidak ada sampah di sudut ruangan, sehingga saya memanggilnya untuk duduk di kursi pas depan papan tulis, saat
pantatnya sudah pada posisi bagus di kursi, saya menarik kursi merapat di samping
saya, mendekatkan jarak kami agar bisa bercengkrama lebih intim, agar bau khas
matahari bisa tercium jelas, dan meraba rambutnya yang dibalut debu jalanan. Ya
dasar orang yang tidak mau rugi, tidak mau memberi begitu saja dan membiarkan
Rifal pergi melanjutkan misi, misi mengumpulkan uang sebanyak banyak nya. Tapi niat
untuk berfoto selfie dengan Rifal lah yang mendesak saya untuk memanggilnya
duduk, bercengkrama seperti teman lama yang baru ketemu. Meskipun kenyataanya
beda, saya tidak seperti teman lama yang lagi rindu, tetapi seperti tim
introgasi yang ditugaskan mengumpulkan data sebanyak banyak nya dari
narasumber. Pertanyaan demi pertanyaan meluncur, dan rifal menjawab dengan
suara seraknya yang setengah berbisik, kadang memaksa saya harus mengulang dan
memperjelas jawaban.
Rifal
itu tinggal di jalan pelita, sekolahnya di jalan bantabantaeng, dia masih kelas
satu, semester yang lalu dia juara dua dikelasnya. Dia tidak pernah terlambat
ke sekolah, meskipun jarak yang sedikit jauh dengan perjalanan menggunakan
kaki, dia biasa berangkat jam 7 pagi, tetapi dia tidak pernah terlambat. “Kenapa
bisa? Na jauh itu” saya memperjelas. “Ka lari ka, ku gendong tas ku baru biasa
ka baku kejar sama teman ku” jawabnya polos dan sedikit bangga. Sayang sekali
rasa bangganya langsung saya jatuhkan, saat bertanya kenapa tidak bisa juara
satu, kenapa harus kalah dengan satu orang teman kelas. “Ka besar ki dia,
kakakku saja na kalah besar” jawabnya sambil menunduk, seperti menyesali postur
badannya yang masih kecil. “Bukan persoalan besar kecilnya badan Rifal, tetapi
siapa yang rajin belajar, na kau kalau selalu keluar malam-malam begini, kapan
waktumu untuk belajar”? saya kembali menjatuhkan rasa bangganya. “kalau pulang
ka ini belajar ma, kerja PR baru tidur” jawabnya lagi. Rifal punya semangat
belajar, dia berbeda dengan beberapa anak di jalanan yang kadang meminta-minta
menjadi profesi menarik dan menggiurkan, apalagi jika itu adalah desakan orang
tua atau bos, menggiurkannya beda tipis dengan MLM. “Kalau pulang sekolah langsung
pergi minta-minta?” saya kembali bertanya. “Tidak, makan ka dulu, baru pergi
main-main, sore pi biasa baru pergi minta-minta, jam 9 pulang ma, kerja PR baru
tidur” jawabnya tegas. Sepertinya Rifal memiliki manajemen waktu yang baik. “Terus
kenapa kamu pergi minta-minta? Mamamu yang suruh?” saya bertanya seperti
menuduh. “bukan, saya sendiriji, namarahi ka kalau na tau, apalagi bapakku,
mungkin na pukulka, ada temanku pernah lapor ka sama mamaku, jadi na taumi
mamaku ia” Jelasnya yang saya coba simpulkan dari suaranya yang kadang susah
didengar. Rifal itu anak ke enam dari delapan bersaudara, ibunya bekerja
mengumpulkan botol bekas, ayahnya “kerja rumah batu” kata Rifal yang tidak mau
mengalah saat saya pertegas itu maksudnya tukang batu.
“Rifal,
tidak baik selalu minta-minta, itu merusak mental” saya mencoba menjadi penasehat
yang baik. “robek ki?” dia kira yang saya maksud mantel jas hujan. Yaa entahlah
Rifal. “lebih baik kamu jual-jualan” saya kembali menasehati. “beli coki-coki
sepuluh ribu, terus kamu jual disekolah, atau orang yang dijalan, berapa
harganya coki-coki?” saya bertanya. “Limbi’ (baca: Limabilangngang/Lima ratus)
jawab Rifal singkat. “nah, kamu jual seribu, kan sudah ada untungmu lima ratus,
jadi tadi uang mu sepuluh ribu bisa jadi dua puluh ribu” saya menjelaskan itu
karena teringat dan sering melihat banyak anak muda yang biasa melakukannya di
lampu merah. “iyye” jawabnya sambil ayun-ayunkan kaki. “Fotoki dulu Rifal,
pintar ji kah foto sendiri?” sambil mengambil hp dan memberikannya pada Rifal,
meskipun dia tidak mahir selfie, tapi setidaknya ia bisa menekan tobol
mengambil gambar. “pulang mi Rifal, malam mi, kerja PR mu supaya bisa rangking
satu” saya menyuruh sambil merangkul bahunya. “Kapan kah penerimaan Rapor lagi”?
tanyaku saat dia sudah mulai berdiri. “kalau sudah makan-makan” jawabnya dengan
sangat polos. “begini, kalau kamu bisa rangking satu, saya kasih hadiah” saya
memberi iming-iming yang sebenarnya tidak baik juga bagi mentalnya. “Tojengki”
katanya.. “iya, cari ma nanti disini kalau sudah mi terima rapor, nah..”
“iyye,
pale’ pulang ma dulu”
Rifal, meskipun kesehariannya di jalan, tapi ia berhasil mendapat juara dua. anak SD kelas 1 ini punya semangat, meskipun ia tak tau kapan terima rapor, yang pasti waktu itu akan tiba setelah acara makan-makan di sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar