Menarik Dikunjungi

Silahkan Klik untuk selengkapnya

Cerita Sunset

Silahkan klik untuk selengkapnya

Menatap Jauh

Silahkan klik untuk selengkapnya

Kita dan Mereka

Silahkan klik untuk selengkapnya

Berbagi Foto

Silahkan Klik untuk selengkapnya

Sebuah Cerita

Kemarin, perasaan itu muncul kembali, semacam getaran yang agak aneh. Setelah sekian lama dan sudah nyaris memudar. Kau gali kembali, tatapanmu menyusup kedalam dan mengerayangi hatiku, meski singkat tapi membekas.


Lima tahun lalu saat kau menggandeng tanganku, tertawa riang bersama berjalan melewati lorong di pinggiran kota ini. Kau selalu berkata, hidup ini seperti lorong yang kita lewati, penuh batu yang bisa menjadi sandungan, berdebu dan penuh lubang. Hidup itu tak mulus seperti yang kita mau, tak selalu nyaman dilalui. Tapi jangan putus asa, katamu, tetap semangat bahwa hari esok akan lebih baik.


Semua itu teringat kembali saat mencoba merefleksikan masa-masa bersamamu. Kini kau terlihat sedikit berubah, dulu rambutmu yang kau biarkan teruarai ditiup angin telah kau tutup dengan jilbab. Tak lagi kau kenakan celana jeans pendek yang selalu kau pasangkan dengan baju kaos biru andalan mu itu. Semua sudah terganti dengan rok panjang dan baju lengan panjang. Namun satu yang tak berubah, caramu menatapku dan senyum manis yang menghiasi bibir mungilmu itu.

Pernah juga kau marah, melempar beberapa barang yang akhirnya kamu ganti sendiri karena rusak, saat kau baca pesan singkat di HP ku, pesan dari teman SMA yang juga pernah singgah dihatiku. Kau betul murkah saat itu, apalagi kau tau bahwa semua itu karena aku yang memulai menjalin komunikasi dengannya. Tapi murkah mu tak berlangsung lama, hanya tiga hari, dan maaf ku pun kau terima. Aku tau kau tak bisa jauh dariku lebih dari tiga hari, karena rasa sayangmu yang teramat padaku.


Kau sangat suka bermain dengan anak kecil, mungkin karena naluri keibuanmu yang terlalu besar. Seperti anak ibu kost ku yang suka kau temani bermain, kita temani jalan dan gandeng layaknya anak sendiri. kau mau punya anak selusin, tapi saya tolak, karena mengingat biaya hidup itu sangat mahal. Akhirnya kau kurangi menjadi tiga. Anak kecil tidak boleh dimarahi jika salah, tapi ajari dia dengan lembut, ajarkan yang mana baik dan yang mana salah, memarahi sama saja membunuh potensinya, katamu menggurui ku. Tau tidak, anak ibu kost itu sudah mulai sekolah, sudah masuk SD, dia sering menanyakanmu, dia pergi, nanti akan kembali, jawabku setiap ia bertanya.


Masih ingat saat kamu ulang tahun, aku belikan kue tar sebagai hadiah, meski harus menguras uang kirimanku, kue warna cokelat dengan pinggiran yang dihiasi warna putih, bertuliskan happy birthday my honey. Kaget dan tak habis pikir, kue itu bukannya kamu makan, tapi malah kau bungkus kembali dan berikan kepada anak-anak kecil yang sedang memulung plastik bekas, di tempat sampah pinggiran jalan. Mereka lebih membutuhkan, katamu, pasti mereka lebih bahagia diberi kue. Mungkin mereka tak akan pernah sempat rayakan ulang tahun. Kebahagian mereka adalah bahagiaku juga, katamu lagi sambil memamerkan senyum khas milikmu itu.


Entah kenapa persoalan sepele itu bisa membuatmu pergi, alasan mau kerja sehingga kau tak pernah muncul lagi. Awalnya komunikasi via sms masih jalan, namun lambat laun semua hilang, sms pun sudah tak ada lagi. Kau bagai ditelan bumi, tak ada kabar. Aku pun keliru, ternyata anggapan ku salah, tidak bisa jauh paling lama tiga hari itu salah. Sudah lima tahun lamanya. Dan kemarin kau tiba-tiba menampakkan diri, pertemuan yang tak disengaja itu membuat kamu kaget, jelas terlihat dari ekspersimu. Lebih lagi diriku yang sekian lama mencarimu. Namun pertemuan itu hanya membuahkan ekspresi. dan kau pun berlalu pergi. Betul-betul salah, harusnya ku berlari mengejarmu, merangkul tangan mu dan bertanya. Kemana saja kau selama ini? Kenapa kau pergi? Tak berharap kau kembali. Tapi setidaknya beri aku alasan atas pilihan mu itu. ahh, harusnya ku mengejarmu. (belajar mengarang, by: A.Chajangga)