Besok kita memilih, katanya sebagai wakil kita di parlemen yang nanti akan membawa aspirasi kita, menyuarakan kebutuhan kita, yaa.. semua untuk kita, tapi sekali lagi "katanya"..
Pemilu adalah pesta demokrasi, cukup layak memang disebut sebuah pesta, karena kemeriahan mewarnai moment ini. Akan banyak kita jumpai hiburan, pertunjukan musik yang mendatangkan artis lokal hingga artis nasional. Pesta yang cukup besar dengan keterlibatan ratusan bahkan ribuan massa. Kali ini masyarakat memang lagi berpesta, bisa dapat lembaran rupih cukup dengan ikut pawai, ugal-ugalan di jalan dan memakai seragam yang dibagikan. Masyarakat lagi dimanjakan dengan sembako, diberi hadiah dan ditukar dengan suara..
Mungkin hari ini para kandidat semakin gencar memaksimalkan strategi pemenangan, mengerahkan semua tim, membagi, memberi dan memastikan semua sesuai perencanaan. Tentu semua targetkan menang, ingin duduk sebagai anggota dewan. Namun jika kalah? Seperti pada momen sebelumnya, banyak juga yang gila bahkan ada yg tidak sanggup menerima kenyataan, drop dan mati.
Dalam proses pemilu yang saya perhatikan selama ini, pilihan selalu disandarkan pada sebuah sistem barter atau kedekatan, bukan pada kualitas calon. Seseorang akan memilih jika yang dipilih ini adalah keluarga atau teman dekat, atau yang dipilih telah memberi sesuatu kepada pemilih, nominal sekian untuk sekian suara. Saya tidak menganggap itu salah atau itu benar, tapi katanya, kapan lagi kita bisa dapat, toh kalau sudah terpilih untung baik kalau kita diingat.
Mungkin itu juga bagian dari kemuakan masyarakat yang bosan dengan janji manis, bosan dengan segala bentuk orasi membara yang sangat ideal, visi misi yang ditulis sempurna dan menjanjikan dalam bentuk teks.
Tapi cukup ironis dengan segala proses yang seperti ini, masyarakat seperti jualan yang suaranya bisa dihargai dengan materi. Saya tidak menganggap salah orang yang memilih karena dibayar, hitung-hitung daripada tidak dapat sama sekali. Bukan juga pesimis dengan para calon, tapi betulkah mereka membawa aspirasi kita? Jika untuk terpilih mereka harus membayar, saya menganggap itu ambisi pribadi.
Cukup membingungkan, kalau kita memilih belum tentu yang dipilih akan berpihak sepenuhnya kepada masyarakat, terus jika kita golput atau tidak memilih maka kita akan dianggap warga negara yang tidak baik.
Akhh.. sudahlah..
Acc..