Menarik Dikunjungi

Silahkan Klik untuk selengkapnya

Cerita Sunset

Silahkan klik untuk selengkapnya

Menatap Jauh

Silahkan klik untuk selengkapnya

Kita dan Mereka

Silahkan klik untuk selengkapnya

Berbagi Foto

Silahkan Klik untuk selengkapnya

Hujan dan Harapan

Ternyata hujan malam ini tidak menyejukkan. Rinai dan gemuruhnya justru membawa duka. Ada kerinduan yg tak bisa diluapkan, ada rasa yang menggumpal namun tak bisa disandarkan. Hujan malam ini memberi sejuta tanya, mendendangkan lagu kesedihan.

Jika esok adalah pagi, maka munculkanlah segera dengan pelanginya. Kami bukan tak mau mengikuti alur, cuma sedikit bosan dengan ritme yang berulang. Jika ini adalah jalan, maka perlihatkanlah gerbang kebahagiaan, yang selalu kami sebut dalam setiap doa.

Ini terlalu indah untuk berputus asa, dan  terlalu berat untuk ditinggalkan. Kami dalam ikrar janji yang mungkin tak suci, meminta sedikit cahaya, berikan temaram dalam jalan gelap ini.
Biarkan mimpi-mimpi menjadi nyata, melanjutkan kisah dan mengukir cerita.

Kabulkanlah doa kami, para pendosa yang tak tau diri..

Menemukan Surga di Marumasa

Pagi ini berangkat ke Marumasa, pantai yang eksotik dengan pasir putihnya, air yang jernih dan gugusan tebing-tebing karang yang indah. Tempat ini masih sangat alami dan belum begitu terjamah oleh tangan-tangan yang seolah traveler seperti saya ini.

Marumasa memberi kesan pertama yang membekas di hati, sehingga saya selalu senang untuk mengulang kunjungan. Di tempat ini kami pernah berbagi cerita, ada tawa, ada canda, ada kisah yang mengharu biru, ada tangis yang pecah dalam pelukan, ada penyesalan, ada ketakutan, ada harapan, ada rasa dan asa, ada suara ombak yang mengiringi menjemput pagi... ooh iaa, ada ular juga yang mengacau duduk melingkar kami..

Jalan-jalan bagi saya bukan hobby, hanya sekedar suka dengan suasana alam yang alami, seperti pantai, gunung, udara yang sejuk, suara ombak, suara burung liar, embun dan cahaya bintang malam. Bercengkrama dengan alam mengajarkan bahwa kita ini makhluk kecil yang tak ada apa-apanya, hanya bagian terkecil dari makrokosmos, lalu apa yang mau disombongkan? Berada di alam bebas itu menenangkan pikiran, mengajarkan kita ikhlas dan tegar, seperti karang yang terus dihantam oleh hempasan ombak, daun yang gugur oleh angin, seperti hujan yang rela jatuh meski tak tau akan jadi apa ia nanti, atau seperti akar yang bekerja dalam sunyi diam tanpa suara tapi menjadi kontributor utama bagi kehidupan pohon. Atau seperti pohon yang terus memberi sumbangsi oksigen yang kita hirup sekarang ini. Seperti marumasa yang membuat saya tenang saat duduk di tepi pantainya.

Ini kunjungan ke tiga, dan saya hanya bertiga, sebelumnya ramai-ramai, tempat ini harusnya bersyukur, karena selama tiga bulan berturut-turut saya berkunjung ke sini, pantai lain belum ada yang saya kunjungi sesering ini, hahaha. Rencana awal sebenarnya akan berangkat jam 1 malam, hanya saja ibu dari anakku melarang karena alasan cuaca buruk dan tidak aman, apalagi jaraknya cukup jauh dari kota Bulukumba, sehingga perjalanan ditunda sampai subuh. “mblo.. catat, larangan itu bentuk perhatian dan kasih sayang” :D

Matahari sementara siap-siap untuk kembali mengerjakan tugas, belum nampak di ufuk timur sana, kami sampai di pantai dan langsung membuka bekal nasi kuning, ini seperti pepatah lama “nasi kuning sebungkus menghapus lapar semalam”. Untuk berfoto selfie di pantai kita butuh energi yang cukup, sehingga mendahulukan nasi kuning sangatlah wajar sebelum mulai beraksi dengan kamera hp masing-masing, sekedar mengambil gambar untuk kepentingan eksist di medsos, atau membuat video banyaknya air, bambangnya alo.... hahahaha. Makan nasi kuning sambil duduk jongkok di atas pasir, hembusan angin yang menerbangkan pasir-pasir halus membuat nasi kuning ini bertambah banyak dan berubah rasa, minyak dibutiran nasi ternyata mampu menjadi magnet yang baik untuk menempelkan pasir, sungguh luar biasa..

Setelah kekenyangan, rencana tidak berjalan sesuai rencana. Badai datang tiba-tiba dan saya pun jadi panik. Mencari-cari tempat yang bisa berlindung, seperti semak belukar atau sejenisnya. Mata memandang jauh, mencari disetiap sudut, adakah tempat yang bisa jongkok dan mengeluarkan hajat. Ah, ini sangat membuat saya panik, tempat bersembunyi ada diselah tebing, cuma tak ada air untuk menyiram, sementara serangan sudah mulai ke ujung. Akhirnya saya memutuskan mencari tiga biji batu kecil untuk digenggam, entah hubungannya apa, kata orang jika hendak buang air besar, genggam saja tiga batu kecil untuk menahan rasa ingin buang. Tapi saya belum yakin, sudah saya genggam erat namun badai dalam perut tetap terasa, serangannya semakin kuat, tidak ada tanda-tanda gencatan senjata dari dalam. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang dan berharap dijalan segera menemukan tampat untuk melampiaskan hajat, saya pun berjalan, tidak begitu cepat, takut terlalu melebarkan kaki saat melangkah, saat duduk pun hanya memanfaatkan ujung-ujung jok. Ah ini liburan atau latihan menahan panik. Beberapa rumah warga sudah mulai kelihatan, mata sudah jelalatan mencari kiri kanan, dan akhirnya dari jauh terlihat mesjid, dalam hati dan dengan penuh keyakinan, pasti ada wc disana. Ternyata mesjid itu sedang renovasi, keyakinan ada wc mulai pudar, tetapi tetap dicoba untuk berhenti, berjalan masuk gerbang, bertanya pada tukang yang bekerja disitu, dia menunjukkan wc. dan pas saya buka pintu betapa luar biasanya, ada air yang banyak, ahh...saya seperti menemukan surga yang melegakan.