Curhat


Terperangah menyaksikan kondisi yang semakin carut marut dan semakin hancur. Ketika semua rasa malu telah hilang dan dengan bangga memamerkan serta mengobral hasrat dan kemaluan,maaf. Semua nilai-nilai luhur dan suci yang menjadi junjungan para tetua kita yang terdahulu seketika hilang tergantikan oleh budaya barat yang akrab disebut hedonisme. Sedikit berbicara tentang hedonisme, hedonisme lahir dari satu mashab pemikiran barat yang tokohnya adalah Sigmend freud. Yang mengatakan bahwa segala sesuatu selalu di ukur dari kesenangan material, bahkan cinta sekalipun menurutnya adalah sebuah reaksi individu dalam memburu kesenang-senangan dan seksualitas. Saya yakin banyak yang tak mengenalnya, namun banyak pula yang tak mengenalnya tapi berbuat seperti teori-teori yang ia kemukakan. 
Jika descartes mengatakan bahwa aku berfikir maka aku ada, para pemuda-pemudi sekarang yang suka dijuluki dengan anak gaul berkata aku bergaya maka aku ada. Sehingga tak heran jika dimanapun kamu perhadapkan wajahmu maka disitu ada wajah-wajah orang yang bergaya. Anak gaul yang merupakan bentukan media karena kepentingan kapitalisasi sudah sangat mengakar dikepala masyarakat secara umum. Simbolisasi cantik yang terbangun adalah harus putih, langsing, berambut panjang, seksi dan sebagainya. Jika tidak seperti itu maka bersiap saja dikatakan orang kolot. Sementara orang pintar, cerdas selalu disimbolkan dengan orang bureng, berkacamata tebal, tidak gaul, selengkapnya liat saja di sinetron-sinetron.
Sudah menjadi hal lumrah dan sudah sangat lazim jika kita melihat orang yang dengan bangga berjalan memamerkan pantat, memakai baju yang ketat dan transparan, memakai pakaian dalam berkeliling di tempat umum seperti di mall dan tempat sejenisnya. Jika di kampung kita bisa melihat kerbau bertelanjang di sawah, di kota pun kita bisa melihat betis, paha dan belahan dada secara gratis. 
Sadar atau tidak namun ini menjadi sebuah masalah yang besar bagi kelanjutan generasi. Kita mau ikut arus atau berdiri tegar dan berjalan melawan arus itu. Memang berat, namun itu adalah kewajiban bagi setiap orang untuk melawan budaya tersebut. Seharusnya kita kembali menanamkan norma-norma dan budaya kultur yang dimiliki oleh kebudayaan kita sendiri. Nilai-nilai moral dan etika, serta sifat sipakalabbi, sipakainge, sipakatau harus tetap menjadi trend dalam kehidupan sehari-hari. Setau saya dalam ajaran apapun, baik agama ataupun pendidikan moral selalu diajarkan mengenai hal-hal baik dan bermoral.  Jika kita sendiri saja suka mengeksploitasi diri sendiri, maka jangan heran jika orang lain memanfaatkan itu dan mengesploitasi kita untuk kepentingan tertentu. Bukan hanya diri sendiri yang akan dirusak, namun orang lain pun akan ikut rusak, karena kita berada dalam lingkup sosial, bukannya hidup sendiri tanpa orang lain. acc

0 komentar:

Posting Komentar